HIJRAH
Ita
terdiam melihat kumpulan cewek yang berada di depan rumahnya. Semua cewek-cewek
di sana sangat berbeda dengan kebanyakan cewek yang sering dijumpai Ita dalam
kehidupannya. Dari segi pakaian mereka
sudah terlihat perbedaannya dengan cewek-cewek yang lain. Mereka selalu memakai
pakaian yang sering dipakai ibu-ibu majelis ta’lim. Ya, mereka memakai baju
terusan atau yang biasa disebut oleh kebanyakan masyarakat dengan sebutan
gamis. Terbesit di hati Ita untuk memakai pakaian yang seperti mereka kenakan.
Bertingkah anggun nan santun. Ita sangat terpukau dengan mereka. Ita
membayangkan kalau dirinya juga seperti mereka. Ita melamun. Tapi apakah
mungkin sosok seperti Ita bisa hijrah menjadi seperti mereka?
Ita
adalah sosok wanita yang punya pergaulan yang bebas. Ita punya banyak teman
lelaki. Mereka juga sering berkunjung ke rumah Ita dan Ita pun demikian, suka
berkunjung ke rumah mereka. Mereka adalah teman-teman band Ita. Ya, Ita adalah
seorang vokalis salah satu band yang cukup terkenal di daerah mereka. Genre
musik yang sering ia bawakan adalah rock. Bisa kebayangkan penampilan Ita saat
ini? Ita bergaya seperti laki-laki. Tapi hanya pada pakaian dan sikapnya yang
menyerupai laki-laki. Selebihnya, ia tetap menunjukkan kepada publik bahwa ia
adalah sosok perempuan. Ibu sering melarangnya untuk bergaul dengan mereka. Ibu
ingin Ita menjadi sosok seperti yang ada di hadapannya sekarang. Sosok muslimah
yang punya sikap anggun.
Lamunan
Ita menjadi buyar ketika terdengar suara yang memanggilnya dari lantai dasar.
Dari suaranya, Ita bisa mengetahui kalau dia adalah Ibu. “Itaaa…”
“Iya,
Ma. Tunggu sebentar.”
“Tolong
antar Mama. Mama ada pengajian di masjid.”
“Tunggu.”
Itu
adalah salah satu cara Ibu untuk membawa Ita meninggalkan dunianya yang
penuh dengan kegelapan dan beralih ke dunia yang diinginkan oleh Ibunya.
“Lahh,
kenapa kamu pake baju kayak gini? Ganti cepat. Gayamu seperti preman. Ini pasti
karena pergaulanmu dengan mereka. Pokoknya Mama minta supaya kamu berhenti
berhubungan dengan mereka. Sudah pergi sana, pakai pakaian yang sopan. Pakai
kerudung kamu. Anak gadis kok gayanya seperti laki-laki.”
Ita
yang lagi tidak ingin berdebat membuatnya patuh terhadap apa yang dikatakan
oleh Ibunya. Ia segera mengganti pakaian yang ia kenakan dengan pakaian yang
dibelikan oleh Ibu sekitar dua minggu yang lalu. Baju lengan panjang, rok, dan
kerudung yang terjulur hingga menutupi dadanya.
Setelah
berganti pakaian, Ita segera mengantar Ibunya ke masjid tempat Ibu biasa
mengikuti pengajian. Hanya mengantar. Ketika sampai ke tempat yang dituju, Ita
akan segera kembali ke rumah dan kembali mengenakan pakaian yang mirip preman
itu. Tapi untuk hari ini, Ibu menginginkan Ita untuk menunggunya di masjid. Ibu
tidak menginginkan Ita untuk pulang dan menunggunya di rumah.
Ita
hanya mengeluh kesal. Ia benar-benar menunggu Ibunya. Tapi bukan di dalam
masjid melainkan ia hanya menunggu di bawah pohon yang cukup lebat yang berada
di depan masjid. Dan di sana, Ita kembali melihat orang-orang yang ia lihat di
depan rumahnya.
“Assalamu’alaikum.”
Sapa salah seorang dari mereka. Dia adalah orang yang tinggal di depan rumah
Ita, Nadia. Sisanya merupakan teman Nadia yang sering berkunjung.
“Ehh,
Wa’alaikumsalam.” Jawab Ita. Ita merasa sedikit kaget karena ia tidak akan
mengira bahwa ia akan disapa oleh mereka.
“Kenapa
tidak masuk, Ta?”
“Nggak
ahh. Saya cuman disuruh nungguin Mama yang lagi ikut pengajian di dalam.”
“Kan
nunggunya bisa di dalam. Kalau kamu malu sini dehh, biar Nadia temenin. Nadia
dan teman-teman yang lain juga ingin ikut pengajian.”
“Kalian
mau ikut pengajian? Itukan pengajian Ibu-ibu?”
“Emangnya
anak muda seperti kita ini dilarang untuk menuntut ilmu agama yah? Ilmu agama
juga untuk anak-anak seperti kita juga kok. Bahkan ilmu agama itu wajib untuk dituntut
oleh setiap tingkatan usia.” Bujuk Nadia.
Ita
yang sudah kehilangan alasan akhirnya menurut dengan apa yang Nadia katakan.
Jantung Ita berdetak begitu cepat. Ini adalah pertama kalinya Ita menginjakkan
kakinya ke dalam masjid setelah Ita berumur 10 tahun.
Ita
melihat wajah Ibunya yang tersenyum melihatnya mengikuti pengajian hari itu.
Ita hanya menunduk sambil mengikuti Nadia dan teman-temannya dimana mereka akan
duduk mendengarkan ceramah dari seorang ustadzah. Dan kebetulan, tema yang
ustadzah angkat adalah “KELUARGA PEJUANG AGAMA ALLAH”. Itu dilihat Ita
dari spanduk yang terpajang dengan nyata di salah satu sisi tembok masjid.
Ita
begitu serius mendengarkan ceramah yang ustadzah bawakan. Menurutnya, mengikuti
pengajian-pengajian yang seperti itu tidak terlalu membosankan. Sebab, bahasa
yang ustadzah pakai sesekali bahasa remaja. Dan materi yang ustadzah sampaikan
juga mudah untuk dimengerti.
“Lain
kali kamu temani Mama lagi yahh untuk pergi ke pengajian.”
Kalimat
itu bukan seperti pertanyaan yang meminta pendapat dan persetujuan Ita tetapi
itu lebih mengarah ke sebuah kalimat yang mengandung unsur perintah di
dalamnya. Jadi, mau-tidak mau Ita harus tetap ikut.
Setelah
beberapa kali mengikuti pengajian di masjid yang sama dan menimbang-nimbang
keputusan yang akan Ita ambil, akhirnya ia mengambil sebuah keputusan. Ia
menginginkan untuk segera hijrah menjadi seperti mereka yang sering ia lihat di
balik jendela yang menjurus ke arah salah satu rumah yang berada di depan
rumahnya. Hijrah? Kata itu Ita copas dari ceramah ustadzah. Walaupun ustadzah
tersebut tidak menjelaskan pengertian hijrah secara gamblang dalam ceramahnya,
tetapi Ita bisa mengetahuinya arti dan makna kata hijrah itu sendiri melalui
kisah-kisah yang sering diceritakan oleh ustadzah. Dan yang ia dapatkan adalah,
hijrah merupakan perpindahan seseorang ke arah yang lebih baik.
Ita
sudah bertekad untuk meninggalkan dunia musiknya. Tetapi ia enggan untuk
memberitahukan niatnya itu ke Ibunya. Ia takut kalau hijrah yang ia lakukan itu
tidak bisa bertahan lama dan akan hilang ketika rasa bosan menghampirinya,
seperti rasa bosan yang ia rasakan terhadap dirinya yang sebagai seorang
vokalis band. Dan langkah yang ia ambil adalah menabung uang pribadinya untuk
membeli pakaian seperti yang dikenakan oleh Nadia dan kawan-kawannya. Disamping
ia sibuk menabung, ia juga sibuk mengikuti kajian rutin seperti yang diikuti
oleh Nadia. Nadia memperkenalkan Ita kepada salah seorang ustadzah yang
diperkirakan mampu mengubah Ita. Siapa yang meminta? Ita sendirilah yang
meminta kepada Nadia untuk dicarikan seseorang yang mampu membimbingnya ke arah
yang benar.
Setelah
dua bulan berlalu, uang yang dikumpulkan oleh Ita sudah cukup banyak. setidaknya
cukuplah membeli 2 gamis yang syar’i. Tekad Ita untuk hijrah menjadi seorang
muslimah juga semakin kuat. Dan pada hari ini, Ita memutuskan untuk benar-benar
hijrah. “Ya Allah ku memakai pakaian ini bukan karena yang lain. Melainkan
karena ini adalah perintah dariMu yang tertuang dalam QS Al-Ahzab:59 dan QS
An-Nur:31.” Ucap Ita dalam hatinya saat hendak memakai gamis dan kerudungnya
untuk yang pertama kalinya.
Selain
pakaian yang ia beli sendiri dari hasil menabungnya selama dua bulan, ia juga
mendapatkan hadiah dari teman-teman dan ustadzahnya yang berupa gamis dan kerudung.
Ibu yang melihat perubahan yang terjadi pada anaknya, Ita, merasa haru dan
bahagia.
Kini
Ita berjalan di jalan dakwah yang penuh tantangan dan rintangan. Cemoohan dari
kawan-kawannya yang dulu tidak membuat Ita patah semangat atau malah mundur dari
perjuangan yang mulia tersebut.
Teringat
kembali potret suram kehidupan Ita di masa lalu. Ia bersimpuh menangis dalam
sujudnya. Ia kembali teringat dengan salah satu ceramah yang disampaikan
ustadzah waktu dulu. “Man jadda wa jada”. “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh
pasti akan mendapatkan hasil”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar