Sabtu, 08 Oktober 2016

Hijrah



HIJRAH

Ita terdiam melihat kumpulan cewek yang berada di depan rumahnya. Semua cewek-cewek di sana sangat berbeda dengan kebanyakan cewek yang sering dijumpai Ita dalam kehidupannya.  Dari segi pakaian mereka sudah terlihat perbedaannya dengan cewek-cewek yang lain. Mereka selalu memakai pakaian yang sering dipakai ibu-ibu majelis ta’lim. Ya, mereka memakai baju terusan atau yang biasa disebut oleh kebanyakan masyarakat dengan sebutan gamis. Terbesit di hati Ita untuk memakai pakaian yang seperti mereka kenakan. Bertingkah anggun nan santun. Ita sangat terpukau dengan mereka. Ita membayangkan kalau dirinya juga seperti mereka. Ita melamun. Tapi apakah mungkin sosok seperti Ita bisa hijrah menjadi seperti mereka?
Ita adalah sosok wanita yang punya pergaulan yang bebas. Ita punya banyak teman lelaki. Mereka juga sering berkunjung ke rumah Ita dan Ita pun demikian, suka berkunjung ke rumah mereka. Mereka adalah teman-teman band Ita. Ya, Ita adalah seorang vokalis salah satu band yang cukup terkenal di daerah mereka. Genre musik yang sering ia bawakan adalah rock. Bisa kebayangkan penampilan Ita saat ini? Ita bergaya seperti laki-laki. Tapi hanya pada pakaian dan sikapnya yang menyerupai laki-laki. Selebihnya, ia tetap menunjukkan kepada publik bahwa ia adalah sosok perempuan. Ibu sering melarangnya untuk bergaul dengan mereka. Ibu ingin Ita menjadi sosok seperti yang ada di hadapannya sekarang. Sosok muslimah yang punya sikap anggun.
Lamunan Ita menjadi buyar ketika terdengar suara yang memanggilnya dari lantai dasar. Dari suaranya, Ita bisa mengetahui kalau dia adalah Ibu. “Itaaa…”
“Iya, Ma. Tunggu sebentar.”
“Tolong antar Mama. Mama ada pengajian di masjid.”
“Tunggu.”
Itu adalah salah satu cara Ibu untuk membawa Ita meninggalkan dunianya yang penuh dengan kegelapan dan beralih ke dunia yang diinginkan oleh Ibunya.
“Lahh, kenapa kamu pake baju kayak gini? Ganti cepat. Gayamu seperti preman. Ini pasti karena pergaulanmu dengan mereka. Pokoknya Mama minta supaya kamu berhenti berhubungan dengan mereka. Sudah pergi sana, pakai pakaian yang sopan. Pakai kerudung kamu. Anak gadis kok gayanya seperti laki-laki.”
Ita yang lagi tidak ingin berdebat membuatnya patuh terhadap apa yang dikatakan oleh Ibunya. Ia segera mengganti pakaian yang ia kenakan dengan pakaian yang dibelikan oleh Ibu sekitar dua minggu yang lalu. Baju lengan panjang, rok, dan kerudung yang terjulur hingga menutupi dadanya.
Setelah berganti pakaian, Ita segera mengantar Ibunya ke masjid tempat Ibu biasa mengikuti pengajian. Hanya mengantar. Ketika sampai ke tempat yang dituju, Ita akan segera kembali ke rumah dan kembali mengenakan pakaian yang mirip preman itu. Tapi untuk hari ini, Ibu menginginkan Ita untuk menunggunya di masjid. Ibu tidak menginginkan Ita untuk pulang dan menunggunya di rumah.
Ita hanya mengeluh kesal. Ia benar-benar menunggu Ibunya. Tapi bukan di dalam masjid melainkan ia hanya menunggu di bawah pohon yang cukup lebat yang berada di depan masjid. Dan di sana, Ita kembali melihat orang-orang yang ia lihat di depan rumahnya.
“Assalamu’alaikum.” Sapa salah seorang dari mereka. Dia adalah orang yang tinggal di depan rumah Ita, Nadia. Sisanya merupakan teman Nadia yang sering berkunjung.
“Ehh, Wa’alaikumsalam.” Jawab Ita. Ita merasa sedikit kaget karena ia tidak akan mengira bahwa ia akan disapa oleh mereka.
“Kenapa tidak masuk, Ta?”
“Nggak ahh. Saya cuman disuruh nungguin Mama yang lagi ikut pengajian di dalam.”
“Kan nunggunya bisa di dalam. Kalau kamu malu sini dehh, biar Nadia temenin. Nadia dan teman-teman yang lain juga ingin ikut pengajian.”
“Kalian mau ikut pengajian? Itukan pengajian Ibu-ibu?”
“Emangnya anak muda seperti kita ini dilarang untuk menuntut ilmu agama yah? Ilmu agama juga untuk anak-anak seperti kita juga kok. Bahkan ilmu agama itu wajib untuk dituntut oleh setiap tingkatan usia.” Bujuk Nadia.
Ita yang sudah kehilangan alasan akhirnya menurut dengan apa yang Nadia katakan. Jantung Ita berdetak begitu cepat. Ini adalah pertama kalinya Ita menginjakkan kakinya ke dalam masjid setelah Ita berumur 10 tahun.
Ita melihat wajah Ibunya yang tersenyum melihatnya mengikuti pengajian hari itu. Ita hanya menunduk sambil mengikuti Nadia dan teman-temannya dimana mereka akan duduk mendengarkan ceramah dari seorang ustadzah. Dan kebetulan, tema yang ustadzah angkat adalah “KELUARGA PEJUANG AGAMA ALLAH”. Itu dilihat Ita dari spanduk yang terpajang dengan nyata di salah satu sisi tembok masjid.
Ita begitu serius mendengarkan ceramah yang ustadzah bawakan. Menurutnya, mengikuti pengajian-pengajian yang seperti itu tidak terlalu membosankan. Sebab, bahasa yang ustadzah pakai sesekali bahasa remaja. Dan materi yang ustadzah sampaikan juga mudah untuk dimengerti.
“Lain kali kamu temani Mama lagi yahh untuk pergi ke pengajian.”
Kalimat itu bukan seperti pertanyaan yang meminta pendapat dan persetujuan Ita tetapi itu lebih mengarah ke sebuah kalimat yang mengandung unsur perintah di dalamnya. Jadi, mau-tidak mau Ita harus tetap ikut.
Setelah beberapa kali mengikuti pengajian di masjid yang sama dan menimbang-nimbang keputusan yang akan Ita ambil, akhirnya ia mengambil sebuah keputusan. Ia menginginkan untuk segera hijrah menjadi seperti mereka yang sering ia lihat di balik jendela yang menjurus ke arah salah satu rumah yang berada di depan rumahnya. Hijrah? Kata itu Ita copas dari ceramah ustadzah. Walaupun ustadzah tersebut tidak menjelaskan pengertian hijrah secara gamblang dalam ceramahnya, tetapi Ita bisa mengetahuinya arti dan makna kata hijrah itu sendiri melalui kisah-kisah yang sering diceritakan oleh ustadzah. Dan yang ia dapatkan adalah, hijrah merupakan perpindahan seseorang ke arah yang lebih baik.
Ita sudah bertekad untuk meninggalkan dunia musiknya. Tetapi ia enggan untuk memberitahukan niatnya itu ke Ibunya. Ia takut kalau hijrah yang ia lakukan itu tidak bisa bertahan lama dan akan hilang ketika rasa bosan menghampirinya, seperti rasa bosan yang ia rasakan terhadap dirinya yang sebagai seorang vokalis band. Dan langkah yang ia ambil adalah menabung uang pribadinya untuk membeli pakaian seperti yang dikenakan oleh Nadia dan kawan-kawannya. Disamping ia sibuk menabung, ia juga sibuk mengikuti kajian rutin seperti yang diikuti oleh Nadia. Nadia memperkenalkan Ita kepada salah seorang ustadzah yang diperkirakan mampu mengubah Ita. Siapa yang meminta? Ita sendirilah yang meminta kepada Nadia untuk dicarikan seseorang yang mampu membimbingnya ke arah yang benar.
Setelah dua bulan berlalu, uang yang dikumpulkan oleh Ita sudah cukup banyak. setidaknya cukuplah membeli 2 gamis yang syar’i. Tekad Ita untuk hijrah menjadi seorang muslimah juga semakin kuat. Dan pada hari ini, Ita memutuskan untuk benar-benar hijrah. “Ya Allah ku memakai pakaian ini bukan karena yang lain. Melainkan karena ini adalah perintah dariMu yang tertuang dalam QS Al-Ahzab:59 dan QS An-Nur:31.” Ucap Ita dalam hatinya saat hendak memakai gamis dan kerudungnya untuk yang pertama kalinya.
Selain pakaian yang ia beli sendiri dari hasil menabungnya selama dua bulan, ia juga mendapatkan hadiah dari teman-teman dan ustadzahnya yang berupa gamis dan kerudung. Ibu yang melihat perubahan yang terjadi pada anaknya, Ita, merasa haru dan bahagia.
Kini Ita berjalan di jalan dakwah yang penuh tantangan dan rintangan. Cemoohan dari kawan-kawannya yang dulu tidak membuat Ita patah semangat atau malah mundur dari perjuangan yang mulia tersebut.
Teringat kembali potret suram kehidupan Ita di masa lalu. Ia bersimpuh menangis dalam sujudnya. Ia kembali teringat dengan salah satu ceramah yang disampaikan ustadzah waktu dulu. “Man jadda wa jada”. “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar