Sabtu, 08 Oktober 2016

Nunu



 NUNU

 Pagi itu pagi yang cerah. Matahari menampakkan sinarnya yang terang. Sangat berbeda dengan hari kemarin yang mendung dan sesekali diiringi dengan turunnya hujan yang sangat deras. Semua orang sangat senang dihari itu, terlebih lagi dengan para ibu rumah tangga karena mereka dapat mengeringkan pakaian keluarga mereka yang sedari kemarin basah dan tidak kering. Tapi hal lain dirasakan oleh seorang gadis kecil nan mungil dengan rambutnya yang ikal. Nunu namanya. Gadis kecil yang baru berumur 4 tahun itu selalu terlihat ceria selalu mengajukan pertanyaan kepada siapa saja, tapi tidak untuk hari ini. Hari ini ia terlihat sangat murung dengan bibirnya yang agak dimanyunkan ke depan. Ia terus saja menatap ke halaman depan. Orang-orang yang berada di rumah melihatnya dengan penuh keheranan, termasuk si kakak. Kakak perempuannya yang cantik jelita dengan khimar dan jilbab yang menjadi ciri khasnya.

“Nu, kamu kenapa? Nggak seperti biasanya. Biasanya cerewet minta ampun. Kamu sakit yahh?” tanya sang kakak yang agak sedikit khawatir dengan sikap Nunu yang tidak seperti biasanya. Sebenarnya si kakak rindu dengan berbagai pertanyaan yang dilontarkan sang adik mungilnya itu.

“Nunu nggak sakit kok kak. Nunu Sehat. Cuman, Nunu mau jalan-jalan keluar mumpung nggak hujan. Tapi kakak sama Bunda sibuk ngurusin pakaian yang dijemur itu.” Keluh Nunu.

Mendengar jawaban Nunu, sang kakak hanya tersenyum sambil mengelus kepala adik kesayangannya itu. “Jadi kamu mau jalan-jalan keluar? Hmm, Kakak ada rapat nih di masjid kamu mau ikut nggak?” tawar sang kakak sambil beranjak meninggalkan Nunu menuju kamar.

“Bener nih kak? Nunu boleh ikut?”

“Ia. Sudah ganti baju sana. Kakak juga baru mau siap-siap. Takut telat.”

“Yeeaayyyyy, Horeee.!!” Teriak Nunu dengan gembira sambil berlari kecil menuju kamarnya.

***

“Nu, kamu sudah selesai?” tanya kakak yang telah siap berangkat dengan pakaian kebesarannya. Uppss, maksudnya jilbabnya yang longgar dan khimarnya yang panjang. Juga kaos kakinya yang selalu melekat ketika hendak keluar dari rumah. Kata kakak, kaki juga termasuk aurat jadi harus ditutup.

“Ia kak, Nunu sudah siap.!” Jawab Nunu dengan sedikit agak berteriak sambil berlari keluar dari kamarnya. Ia makin cantik dan imut dengan jilbab yang melekat di tubuh mungilnya. Ia memang sudah diajarkan oleh kakaknya untuk mengenakan jilbab. Dan Bunda juga nge-dukung mereka untuk berjilbab. Pemahaman kakak terkait perbedaan makna antara jilbab dan kerudung itu ia dapatkan dalam organisasi di sekolahnya. Kalau tidak salah nama organisasinya Rohis. Tapi ada satu hal yang menarik perhatian si kakak setelah melihat Nunu.

“Kerudung kamu mana?” tanya kakak

“Kan panas kak, gak usah pake kerudung yahh kakk. Sekali inniiiii saja.” Pinta Nunu yang agak sedikit memohon.

Seperti biasa, sang kakak tersenyum dan mengelus kepala Nunu. Mungkin ini jurus jitu kakak supaya Nunu patuh. Hehehe. “Adikku yang manis. Perintah memakai khimar atau kerudung itu wajib. Kalau tidak dilaksanakan yahh dapat dosa. Jadi tidak peduli mau panas, mau dingin, mau hujan, kerudung tetap harus dipakai. Kan diluar banyak yang bukan mahram kita.”

“Tapi kak, diluar itu panaaasss bangett.”

“Nah maka dari itu. Dengan kerudung yang kita pakai, kita dapat terlindungi dari sinar matahari yang siap membakar kulit kita. Katanya siap mau jadi anak yang shaleha?”

Mendengar jawaban sang kakak, Nunu segera bergegas mengambil kerudungnya yang berada di dalam kamar. Lalu mereka berdua pergi ke tempat yang mereka tuju setelah pamit sama Bunda.

***

Di tengah perjalanan Nunu melihat pemandangan yang mengundang sejuta tanya dalam hatinya yang siap ia lontarkan kepada kakaknya. Para pengamen jalanan.

“Kak mereka ngapain di pinggir jalan? sambil bawa adiknya pula? Kan bahaya, mereka bisa ditabrak sama pengendara. Ibunya kemana kak? Kok tega membiarkan anak-anaknya di pinggir jalan? Ayahnya mana kak? Mereka nggak takut ya kalau nanti anak-anak mereka diculik? Apa orang tua mereka gak takut sama azab Allah ya kak? Mereka kan diberi anak untuk dijaga bukan untuk ditelantarkan?” berbagai pertanyaan Nunu mengalir begitu saja tanpa memberi jeda untuk sang kakak memberikan jawaban atas setiap pertanyaannya

Sang kakak yang sudah tahu kebiasaan Nunu hanya dapat diam mendengarkan semua pertanyaan Nunu hingga Nunu berhenti dan menunggu jawabannya. “Mereka itu lagi cari uang untuk makan. Mereka bekerja dengan cara seperti itu. Menyanyi dengan alat musik seadanya lalu setelah itu ia akan diberi uang oleh para pengendara. Ya, memang sangat berbahaya berada dipinggir jalan. Mereka bisa saja tertabrak kalau tidak hati-hati atau kalau ada pengendara yang ngebut. Kebanyakan dari mereka sudah tidak mempunyai orang tua jadi mereka berusaha untuk mencari uang sendiri.”

Belum selesai kakak menjelaskan, Nunu kembali meluncurkan pertanyaannya “Kemana Nenek mereka kak? Kakek? Paman? Bibi? Apa mereka juga tidak menyayangi anak kecil itu? Kan kasihan kak, mereka seharusnya tidak perlu mencari uang. Tugas mereka kan harus belajar. Yang mencari uang itu tugas orang dewasa.” tanyanya dengan mengutip beberapa kalimat yang ia pernah dengar dari pembicaraan kakak dengan bunda.

“Entahlah. Kakak pun tidak terlalu tahu dik. Beginilah memang pemandangan yang akan sering kita lihat ketika sistem yang digunakan adalah sistem demokrasi. Sistem yang dibuat oleh manusia. Sangat berbeda ketika sistem yang digunakan adalah sistem Islam. Sistem yang dibuat oleh Pencipta kita.”

“Memangnya apa yang akan terjadi kalau sistem Islam yang diterapkan kak? Bukannya sama saja ya kak antara sistem demokrasi dengan sistem islam? Keduanya kan sama-sama dibuat untuk mengatur kita?” . Jangan heran. Nunu memang baru berumur 4 tahun. Tapi cara berpikirnya sudah seperti orang dewasa. Mungkin karena seringnya berdiskusi dengan kakak.

“Kalau sistem islam yang diterapkan, anak-anak yang seperti mereka akan dicari tahu siapa keluarga mereka. Kalau keluarga mereka tidak mampu untuk menghidupi mereka maka dicarilah kerabat mereka. Apabila kerabat mereka juga tidak mampu maka akan dititipkan ke tetangganya. Dan jika tetangganya juga tidak mampu untuk menghidupi anak tersebut maka kebutuhan anak tersebut akan ditanggung oleh negara. Anak-anak seperti mereka akan mendapatkan zakat.” Jelas sang kakak.

“ Jadi keluarga mereka bagaimana kak? Mereka kan juga tidak mampu. Apa mereka tidak sekalian saja ditanggung kebutuhannya oleh negara? Juga kerabat dan tetangganya?”

“Tidak mampu yang kakak maksud disini adalah mereka tidak mampu menghidupi kehidupan si anak yang tadi. Mereka hanya bisa menghidupi kehidupan mereka sendiri. Kalau pun ada seorang kepala keluarga yang tidak mampu untuk menghidupi keluarganya lantaran dia tidak mendapatkan sebuah pekerjaan dan ia masih terlihat kuat dan muda, maka tugas negara adalah memberikannya sebuah pekerjaan agar si bapak ini dapat melaksanakan kewajibannya sebagai kepala keluarga yaitu mencukupi kebutuhan keluarganya.”

Masih banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan Nunu. Hal yang seperti inilah yang Nunu suka terhadap kakaknya. Apabila ia bertanya, si kakak selalu saja mampu menjawabnya. Tapi diskusi mereka segera berakhir ketika mereka telah sampai ke tempat yang mereka tuju. Yang disana telah tampak beberapa teman kakak yang berpakaian sama dengan mereka. Ya, dengan pakaian kebesaran mereka.

***

New Year



NEW YEAR

“Tidak terasa yah, sekarang udah bulan Desember lagi. Bentar lagi kita akan memasuki tahun yang baru, tahun 2016. Yeeeeaaahh.” Ucap Kinta dengan gembira yang membuyarkan lamunan Sinta, kakak kembarnya.

Kinta dan Sinta adalah anak kembar dari keluarga yang terpandang. Apa yang mereka inginkan selalu dipenuhi oleh orang tuanya. Tetapi walaupun mereka kembar, mereka memiliki karakter yang berbeda. Sinta yang sebagai kakak memiliki sifat yang mandiri dan orangnya seriusan. Berbeda dengan adiknya, Kinta. Kinta memiliki sifat yang manja dan tidak suka dengan hal-hal yang serius, ia lebih suka dengan candaan alias humor. Setiap pekerjaan rumahnya selalu meminta bantuan kakaknya. Seingat Sinta, tidak ada satupun pekerjaan rumah yang diselesaikan sendiri oleh Kinta. Tapi walaupun seperti itu, Sinta tetap menyayangi adiknya.

“Iya, bentar lagi kita akan memasuki tahun baru. Tapi kakak mau pesan sama Kinta.” Ucap Sinta sambil tetap menatap indahnya langit malam.

“Pesan? Kakak ini ngigau yah? Kinta kan bukan pelayan. Kalau mau pesan yah sama pelayan. Bukan sama Kinta. Hahaha.” Kebiasaan Kinta, menghadirkan humor ketika suasana mulai tampak serius.

“Huufftt.” Sinta mendengus. Ia sudah sangat mengenal betul sifat adiknya yang tak suka dengan sesuatu yang serius, kata Kinta kalau sesuatu yang serius dalam dunia nyata itu lebih menyeramkan dari film-film horor. *yaiyalah.

“Gini, tahun-tahun kemarinkan kita ngerayain tuh yang namanya malam tahun baru. Untuk tahun ini sampai tahun seterusnya, kakak minta supaya keluarga kita tidak perlu merayakan lagi malam tahun baru.” Jelasnya.

“Kenapa? Bukannya kakak juga merasa senang waktu malam tahun baru kemarin?? Kok sekarang malah melarang merayakan malam tahun baru sih kak?” Kini jidat Kinta berkerut. Baru kali ini Sinta melihat wajah serius adiknya.

“Sebaiknya kalau kita ingin merayakan suatu hal, kita harus menyelidikinya terlebih dahulu. Kita ini kan muslim. Hari raya untuk kaum muslim itu hanya dua yaitu saat Idul Adha dan Idul Fitri kalau perayaan yang lain kita perlu melihat sejarah awal mula adanya perayaan tersebut.”

“Emangnya sejarah perayaan tahun baru itu bagaimana kak?” Kinta semakin penasaran. Ia sudah terbiasa dengn perubahan pemikiran kakaknya. Sesuatu yang sering dilakukannya bersama berubah menjadi sesuatu ia benci. Wajar saja, sekarang Sinta bergabung dengan organisasi Islam, ROHIS. Jadi, suatu hal yang wajar kalau sedikit-sedikit harus liat dulu bagaimana pandangan Islam terhadap apa yang akan dilakukannya. Apalagi sekarang Sinta menjadi ketuanya. Tentunya Sinta harus lebih hati-hati dalam bersikap agar dapat menjadi tauladan yang baik bagi anggota-anggotanya.

Seketika itu juga Sinta membuka iPhone nya dan mulai mencari artikel yang membahas tentang sejarah perayaan tahun baru masehi. Dan setelah dapat, ia segera memperlihatkannya kepada Kinta. Kinta sangat serius membacanya. Isinya itu seperti ini:

***

Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.

Pada tahun 45 SM Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli).

Sementara penerus Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M. Pada saat itu muncul Kalender Gregorian.

Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.

Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena semua aktivitas umumnya diliburkan. Di bulan Februari, konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu, tahun baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.

Orang Romawi merayakan tahun baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.

Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristiani. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.

Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Bagi orang Kristiani yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

***

“Hal itu sudah kakak tanyakan ke ustadzahnya kakak. Dan beliau mengatakan kalau kita ini sebagai umat muslim tidak boleh mengikuti orang-orang yang non muslim. Dalam hadits riwayat Abu Daud dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: man tasyabbahu bi qaumin fa huwa minhum yang artinya barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka. Kan kita sudah tahu kalau perayaan tahun baru itu adalah kebiasaan kaum non muslim. Dan tidak ada dalil yang mengatakan kalau kita harus merayakannya tetapi yang ada adalah larangan untuk menyerupai. Makanya tadi kakak pesan sama adik supaya kita tidak usah merayakan tahun baru untuk tahun ini dan untuk seterusnya.” Jelas Sinta.

Kinta merenungi kata-kata yang baru saja keluar dari mulut kakak kembarnya itu. Kinta terkesima mendengarnya. “Kak…” wajahnya kini menunduk di hadapan kakaknya.

“Kamu kenapa, dik?” Sinta menghampiri Kinta sambil mengelus punggung hingga kepala adiknya dan mulai duduk di sampingnya.

“Ajari Kinta untuk mengenal Islam, kak.” Kinta menatap mata Sinta tanda ia sangat serius dengan ucapannya.

“Masyaa Allah.” Gumam Sinta dalam hatinya. “Iya, dik. Kakak pasti akan mengajari Kinta. Kakak sayang sama Kinta. Kakak sayang sama Mama dan Papa. Kakak ingin di akhirat nanti kita semua dikumpulkan ke dalam surgaNya.” Ucap Sinta sambil memeluk Kinta.

Air mata mereka kini membasahi kain kerudung yang mereka pakai. Dan semoga air mata mereka akan menjadi saksi di akhirat nanti serta akan menjadi syafaat bagi mereka. Aamiin.

Sahabat Juang



SAHABAT JUANG


Semuanya berlalu seperti biasa. Tawa, canda, gurau. Semuanya tampak seperti biasa. Tak ada beban masalah. Hingga hari itu. Hari ketika aku baru menyadarinya.

Menjelang bulan ramadhan para siswa(i) diliburkan. Tapi tidak bagi dakwah kami. Kami boleh saja libur sekolah tapi halaqah kami tetap harus berjalan. Ini demi kepentingan umat kedepannya. Ya, kami menyebutnya halaqah. Duduk berkelompok membentuk lingkaran, berdiskusi tentang islam. Tapi islam yang kami bahas bukan hanya sebatas ibadah spiritual saja. Lebih dari itu. Kami membahas tentang politik, perekonomian, sosial, sejarah, dan lain-lainnya. Tapi pembahasan tersebut tentu saja tetap dengan warna islam.

Awalnya, saya berkelompok dengan empat orang teman dan satu musyrifah sebagai pembimbing kami. Dua orang dari teman kelompokku merupakan teman sekolahku dan juga seangkatan denganku. Sisanya dari sekolah seberang dan juga mereka berada satu tingkat di atas kami. Ya, kami tidak seangkatan dengan mereka juga tidak seusia. Tapi perbedaan usia dan tingkatan itu tak menjadi beban bagi kami. Kami tetap bersahabat sebagaimana sahabat seperti biasanya. Tapi dari waktu ke waktu, mereka lebih memilih untuk bergerak di kampus sehingga ia harus dimutasi dari kelompok kami. Karena mereka berada satu tingkat di atas kami maka mereka lebih duluan merasakan warna-warni kampus. Maka tinggallah kami berempat. Aku, Mawar, Rina, dan Kak Dani. Semoga saja kami istiqamah dijalan dakwah ini.

Tapi, lagi dan lagi, kami harus kehilangan 1 orang teman lagi. Mawar. Dia adalah sahabat terdekat ku. Dia selalu mendengarkan keluh kesah ku. Hari ini aku, Rina, dan Kak Dani harus siap kehilangannya. Bukan karena ia juga ingin bergerak di kampus. Secara ia kan masih duduk di bangku SMA, dia sekelas dengan ku. Tapi ini lebih mengagetkan. Mawar yang dulu ku kenal dengan semangat juangnya yang selalu membara ingin menyelamatkan umat islam dari cengkeraman kapitalisme kini berubah menjadi pemuja liberalisme. Ia lebih memilih untuk mundur dari jalan yang mulia ini demi ingin merasakan nikmatnya nuansa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan remaja.

Kabar itu bermula dari seorang teman yang tempat tingggalnya tidak jauh dari rumah Mawar. Tapi ku tetap berusaha untuk berprasangka baik pada Mawar. Ku hanya menganggap perkataan itu hanya isu belaka yang akan hilang seiring berjalannya waktu.

Keanehan itu sangat terasa. Kabar itu semakin ku sangkut pautkan dengan ketidakhadiran Mawar dalam perhalaqahan. Ini sangat aneh. Mawar yang biasanya menyemangatiku ketika ku lelah dalam jalan dakwah yang tak tau ujungnya dimana, kini menghilang tanpa kabar. Tapi sekali lagi ku berusaha untuk tetap berprasangka baik pada Mawar. Siapa tahu dia sakit atau harus mengantar ibunya ke suatu tempat atau ada hal lainnya yang harus diatasi terlebih dahulu sehingga ia tidak bisa hadir dalam perhalaqahan. Ku hanya menerka, mungkin Mawar sudah mengirim pesan singkat ke Kak Dani, alasan atas ketidakhadirannya hari ini.

Beberapa minggu telah berlalu. Kekhawatiran mulai merasuki ku. Kak Dani pun merasakan hal yang sama denganku. Rasa khawatir akan ketidakhadiran Mawar dalam dunia dakwah ini. Jangankan dalam halaqah, dalam pesantren kilat yang diwajibkan sekolah saja ia tidak pernah hadir. Padahal pesantren kilat ini adalah amanah yang diberikan kepala sekolah kepada kami sebagai anggota organisasi yang bergerak di bidang keagamaan.

Dan dipertengahan bulan ramadhan, ku kembali dikejutkan dengan kabar yang mengatakan aku harus berpindah musyrifah. Hal yang tidak ku sukai datang bertubi-tubi . Yaitu perpisahan. Perpisahan yang berhasil menyurutkan semangat juang ku waktu itu. Seakan mereka semua meniggalkanku. Namun ternyata ku salah paham.

Hari demi hari ku lalui. Perlahan-lahan semangat juang itu kembali. Dengan musyrifah baru dan 1 teman baru, Kak Ayu dan Lia. Dan kabar tentang Mawar, sedikit demi sedikit semakin jelas. Kalian tau rasa sakit ditinggal seorang sahabat? Ya, itu  sangat sakit. Bertemu dengan Mawar saja sangat menyakitkan bagiku. Apalagi jika aku berkomunikasi dengannya. Itu sangat menyakitkan.

Ku berusaha untuk tetap bersikap biasa dengannya tapi karena ia yang juga sedikit menjauhi ku membuatku juga bergerak menjauhinya. Hingga bisa dipastikan tidak ada komunikasi diantara kami. Orang yang melihatnya sudah pasti merasa aneh. Bagaimana bisa tidak, kami yang dulunya selalu jalan bersama kini melangkah berjauhan. Termasuk guru kami. Ia pernah menanyakan apa yang terjadi antara aku dan Mawar. Ini bukti bahwa jarak di antara kami terlihat begitu sangat jelas.

Beberapa program kerja ku lewati dengan anggota yang tersisa, tapi ternyata luka itu masih belum kering. Luka karena ditinggal sahabat. Mungkin salah ku juga karena tidak memegangnya. Ku berusaha untuk tidak berlarut-larut. Masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan perhatian. Ku berusaha memfokuskan diri dengan masalah sahabat ku yang lain yang meminta pemecahan masalah yang sesuai dengan islam. Tak ingin sahabat ku yang lain mengalami hal yang sama seperti Mawar, maka ku berusaha untuk membantunya sebisa mungkin.

Ku pikir ku telah melupakannya karena kesibukan sekolah dan dakwah yang sangat menguras waktu ku. Apalagi UN sudah di depan mata. Tapi nyatanya tidak. Ingatan itu masih ada. Masih jelas. Masih sangat jelas. Luka itu belum kering sempurna Dan ku masih berharap agar ia cepat kembali ke jalan dakwah ini. Ku rindu ucapannya yang mengatakan “Uhibbukifillah, Ukhti.” Dengan senyum di raut wajahnya.

Satu pertanyaan yang masih sering muncul dalam hatiku. Inikah yang kau namakan CINTA SAHABAT? Seperti yang sering kau ucapkan? Uhibbukifillah. Dulu ku meyakininya. Namun, kini ku telah meragukannya. Benarkah kau mencintai ku? Mencintaiku karenaNya?