SAHABAT
JUANG
Semuanya
berlalu seperti biasa. Tawa, canda, gurau. Semuanya tampak seperti biasa. Tak
ada beban masalah. Hingga hari itu. Hari ketika aku baru menyadarinya.
Menjelang
bulan ramadhan para siswa(i) diliburkan. Tapi tidak bagi dakwah kami. Kami
boleh saja libur sekolah tapi halaqah
kami tetap harus berjalan. Ini demi kepentingan umat kedepannya. Ya, kami
menyebutnya halaqah.
Duduk berkelompok membentuk lingkaran, berdiskusi tentang islam. Tapi islam
yang kami bahas bukan hanya sebatas ibadah spiritual saja. Lebih dari itu. Kami
membahas tentang politik, perekonomian, sosial, sejarah, dan lain-lainnya. Tapi
pembahasan tersebut tentu saja tetap dengan warna islam.
Awalnya,
saya berkelompok dengan empat
orang teman dan satu
musyrifah sebagai pembimbing kami. Dua
orang dari teman kelompokku merupakan teman
sekolahku dan juga seangkatan
denganku. Sisanya
dari sekolah seberang dan juga mereka berada
satu tingkat di atas kami. Ya, kami tidak seangkatan dengan mereka juga tidak seusia.
Tapi perbedaan usia dan tingkatan itu
tak menjadi beban bagi kami. Kami tetap bersahabat sebagaimana sahabat seperti
biasanya. Tapi dari waktu ke waktu, mereka lebih memilih untuk bergerak di
kampus sehingga ia harus dimutasi dari kelompok kami. Karena mereka berada satu tingkat di atas kami
maka mereka lebih duluan merasakan warna-warni kampus. Maka tinggallah kami
berempat. Aku, Mawar, Rina, dan Kak Dani. Semoga saja kami istiqamah dijalan
dakwah ini.
Tapi,
lagi dan lagi, kami harus kehilangan 1 orang teman lagi. Mawar. Dia adalah
sahabat terdekat ku. Dia selalu mendengarkan keluh kesah ku. Hari ini aku,
Rina, dan Kak Dani harus siap kehilangannya. Bukan karena ia juga ingin
bergerak di kampus.
Secara ia kan masih
duduk di bangku SMA, dia sekelas
dengan ku. Tapi ini lebih mengagetkan. Mawar yang dulu ku kenal dengan semangat
juangnya yang selalu membara ingin menyelamatkan umat islam dari cengkeraman
kapitalisme kini berubah menjadi pemuja liberalisme. Ia lebih memilih untuk
mundur dari jalan yang mulia ini demi ingin merasakan nikmatnya nuansa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan remaja.
Kabar
itu bermula dari seorang teman yang tempat tingggalnya tidak jauh dari rumah
Mawar. Tapi ku tetap berusaha untuk berprasangka baik pada Mawar. Ku hanya
menganggap perkataan itu hanya isu belaka yang akan hilang seiring berjalannya
waktu.
Keanehan
itu sangat terasa. Kabar itu semakin ku sangkut pautkan dengan ketidakhadiran
Mawar dalam perhalaqahan.
Ini sangat aneh. Mawar yang biasanya menyemangatiku ketika ku lelah dalam jalan
dakwah yang tak tau ujungnya dimana,
kini menghilang tanpa kabar. Tapi sekali lagi ku berusaha untuk tetap
berprasangka baik pada Mawar. Siapa tahu
dia sakit atau harus mengantar ibunya ke suatu tempat atau ada hal lainnya yang harus diatasi terlebih
dahulu sehingga ia tidak bisa hadir dalam
perhalaqahan. Ku hanya menerka, mungkin Mawar sudah
mengirim pesan singkat ke Kak Dani, alasan atas ketidakhadirannya hari ini.
Beberapa
minggu telah berlalu. Kekhawatiran mulai merasuki ku. Kak Dani pun merasakan
hal yang sama denganku. Rasa khawatir akan ketidakhadiran Mawar dalam dunia dakwah ini. Jangankan
dalam halaqah,
dalam pesantren kilat yang diwajibkan sekolah saja ia tidak pernah hadir.
Padahal pesantren kilat ini adalah amanah yang diberikan kepala sekolah kepada
kami sebagai anggota organisasi yang bergerak di bidang keagamaan.
Dan dipertengahan bulan
ramadhan, ku kembali dikejutkan dengan kabar yang mengatakan aku harus
berpindah musyrifah. Hal yang tidak ku sukai datang bertubi-tubi . Yaitu
perpisahan. Perpisahan yang berhasil menyurutkan semangat juang ku waktu itu. Seakan mereka semua
meniggalkanku. Namun ternyata ku salah paham.
Hari
demi hari ku lalui. Perlahan-lahan semangat juang itu kembali. Dengan musyrifah
baru dan 1 teman baru, Kak Ayu dan Lia. Dan kabar tentang Mawar, sedikit demi
sedikit semakin jelas. Kalian tau rasa sakit ditinggal seorang sahabat? Ya, itu sangat sakit. Bertemu dengan Mawar saja sangat
menyakitkan bagiku. Apalagi jika aku
berkomunikasi dengannya. Itu sangat menyakitkan.
Ku
berusaha untuk tetap bersikap biasa dengannya tapi karena ia yang juga sedikit
menjauhi ku membuatku juga bergerak menjauhinya. Hingga bisa dipastikan tidak
ada komunikasi diantara kami. Orang yang melihatnya sudah pasti merasa aneh.
Bagaimana bisa tidak, kami yang dulunya selalu jalan bersama kini melangkah
berjauhan. Termasuk guru kami.
Ia pernah menanyakan apa yang terjadi antara aku dan Mawar. Ini bukti bahwa
jarak di antara kami terlihat begitu sangat jelas.
Beberapa
program kerja ku lewati dengan anggota yang tersisa, tapi ternyata luka itu masih
belum kering. Luka karena ditinggal sahabat. Mungkin salah ku juga karena tidak
memegangnya. Ku berusaha untuk tidak
berlarut-larut. Masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan perhatian. Ku
berusaha memfokuskan diri dengan masalah sahabat ku yang lain yang meminta
pemecahan masalah yang sesuai dengan islam. Tak ingin sahabat ku yang lain
mengalami hal yang sama seperti Mawar, maka ku berusaha untuk membantunya sebisa
mungkin.
Ku pikir ku telah melupakannya karena kesibukan
sekolah dan dakwah yang sangat menguras waktu ku. Apalagi UN sudah di depan
mata. Tapi nyatanya tidak. Ingatan itu masih ada. Masih jelas. Masih sangat
jelas. Luka itu belum kering sempurna Dan ku masih berharap agar ia cepat
kembali ke jalan dakwah ini. Ku rindu ucapannya yang mengatakan “Uhibbukifillah, Ukhti.” Dengan senyum di
raut wajahnya.
Satu pertanyaan yang masih sering muncul dalam hatiku. Inikah yang kau namakan
CINTA SAHABAT? Seperti yang sering kau ucapkan? Uhibbukifillah. Dulu ku meyakininya. Namun, kini ku telah
meragukannya. Benarkah kau mencintai ku? Mencintaiku karenaNya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar