Sabtu, 08 Oktober 2016

Sahabat Juang



SAHABAT JUANG


Semuanya berlalu seperti biasa. Tawa, canda, gurau. Semuanya tampak seperti biasa. Tak ada beban masalah. Hingga hari itu. Hari ketika aku baru menyadarinya.

Menjelang bulan ramadhan para siswa(i) diliburkan. Tapi tidak bagi dakwah kami. Kami boleh saja libur sekolah tapi halaqah kami tetap harus berjalan. Ini demi kepentingan umat kedepannya. Ya, kami menyebutnya halaqah. Duduk berkelompok membentuk lingkaran, berdiskusi tentang islam. Tapi islam yang kami bahas bukan hanya sebatas ibadah spiritual saja. Lebih dari itu. Kami membahas tentang politik, perekonomian, sosial, sejarah, dan lain-lainnya. Tapi pembahasan tersebut tentu saja tetap dengan warna islam.

Awalnya, saya berkelompok dengan empat orang teman dan satu musyrifah sebagai pembimbing kami. Dua orang dari teman kelompokku merupakan teman sekolahku dan juga seangkatan denganku. Sisanya dari sekolah seberang dan juga mereka berada satu tingkat di atas kami. Ya, kami tidak seangkatan dengan mereka juga tidak seusia. Tapi perbedaan usia dan tingkatan itu tak menjadi beban bagi kami. Kami tetap bersahabat sebagaimana sahabat seperti biasanya. Tapi dari waktu ke waktu, mereka lebih memilih untuk bergerak di kampus sehingga ia harus dimutasi dari kelompok kami. Karena mereka berada satu tingkat di atas kami maka mereka lebih duluan merasakan warna-warni kampus. Maka tinggallah kami berempat. Aku, Mawar, Rina, dan Kak Dani. Semoga saja kami istiqamah dijalan dakwah ini.

Tapi, lagi dan lagi, kami harus kehilangan 1 orang teman lagi. Mawar. Dia adalah sahabat terdekat ku. Dia selalu mendengarkan keluh kesah ku. Hari ini aku, Rina, dan Kak Dani harus siap kehilangannya. Bukan karena ia juga ingin bergerak di kampus. Secara ia kan masih duduk di bangku SMA, dia sekelas dengan ku. Tapi ini lebih mengagetkan. Mawar yang dulu ku kenal dengan semangat juangnya yang selalu membara ingin menyelamatkan umat islam dari cengkeraman kapitalisme kini berubah menjadi pemuja liberalisme. Ia lebih memilih untuk mundur dari jalan yang mulia ini demi ingin merasakan nikmatnya nuansa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan remaja.

Kabar itu bermula dari seorang teman yang tempat tingggalnya tidak jauh dari rumah Mawar. Tapi ku tetap berusaha untuk berprasangka baik pada Mawar. Ku hanya menganggap perkataan itu hanya isu belaka yang akan hilang seiring berjalannya waktu.

Keanehan itu sangat terasa. Kabar itu semakin ku sangkut pautkan dengan ketidakhadiran Mawar dalam perhalaqahan. Ini sangat aneh. Mawar yang biasanya menyemangatiku ketika ku lelah dalam jalan dakwah yang tak tau ujungnya dimana, kini menghilang tanpa kabar. Tapi sekali lagi ku berusaha untuk tetap berprasangka baik pada Mawar. Siapa tahu dia sakit atau harus mengantar ibunya ke suatu tempat atau ada hal lainnya yang harus diatasi terlebih dahulu sehingga ia tidak bisa hadir dalam perhalaqahan. Ku hanya menerka, mungkin Mawar sudah mengirim pesan singkat ke Kak Dani, alasan atas ketidakhadirannya hari ini.

Beberapa minggu telah berlalu. Kekhawatiran mulai merasuki ku. Kak Dani pun merasakan hal yang sama denganku. Rasa khawatir akan ketidakhadiran Mawar dalam dunia dakwah ini. Jangankan dalam halaqah, dalam pesantren kilat yang diwajibkan sekolah saja ia tidak pernah hadir. Padahal pesantren kilat ini adalah amanah yang diberikan kepala sekolah kepada kami sebagai anggota organisasi yang bergerak di bidang keagamaan.

Dan dipertengahan bulan ramadhan, ku kembali dikejutkan dengan kabar yang mengatakan aku harus berpindah musyrifah. Hal yang tidak ku sukai datang bertubi-tubi . Yaitu perpisahan. Perpisahan yang berhasil menyurutkan semangat juang ku waktu itu. Seakan mereka semua meniggalkanku. Namun ternyata ku salah paham.

Hari demi hari ku lalui. Perlahan-lahan semangat juang itu kembali. Dengan musyrifah baru dan 1 teman baru, Kak Ayu dan Lia. Dan kabar tentang Mawar, sedikit demi sedikit semakin jelas. Kalian tau rasa sakit ditinggal seorang sahabat? Ya, itu  sangat sakit. Bertemu dengan Mawar saja sangat menyakitkan bagiku. Apalagi jika aku berkomunikasi dengannya. Itu sangat menyakitkan.

Ku berusaha untuk tetap bersikap biasa dengannya tapi karena ia yang juga sedikit menjauhi ku membuatku juga bergerak menjauhinya. Hingga bisa dipastikan tidak ada komunikasi diantara kami. Orang yang melihatnya sudah pasti merasa aneh. Bagaimana bisa tidak, kami yang dulunya selalu jalan bersama kini melangkah berjauhan. Termasuk guru kami. Ia pernah menanyakan apa yang terjadi antara aku dan Mawar. Ini bukti bahwa jarak di antara kami terlihat begitu sangat jelas.

Beberapa program kerja ku lewati dengan anggota yang tersisa, tapi ternyata luka itu masih belum kering. Luka karena ditinggal sahabat. Mungkin salah ku juga karena tidak memegangnya. Ku berusaha untuk tidak berlarut-larut. Masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan perhatian. Ku berusaha memfokuskan diri dengan masalah sahabat ku yang lain yang meminta pemecahan masalah yang sesuai dengan islam. Tak ingin sahabat ku yang lain mengalami hal yang sama seperti Mawar, maka ku berusaha untuk membantunya sebisa mungkin.

Ku pikir ku telah melupakannya karena kesibukan sekolah dan dakwah yang sangat menguras waktu ku. Apalagi UN sudah di depan mata. Tapi nyatanya tidak. Ingatan itu masih ada. Masih jelas. Masih sangat jelas. Luka itu belum kering sempurna Dan ku masih berharap agar ia cepat kembali ke jalan dakwah ini. Ku rindu ucapannya yang mengatakan “Uhibbukifillah, Ukhti.” Dengan senyum di raut wajahnya.

Satu pertanyaan yang masih sering muncul dalam hatiku. Inikah yang kau namakan CINTA SAHABAT? Seperti yang sering kau ucapkan? Uhibbukifillah. Dulu ku meyakininya. Namun, kini ku telah meragukannya. Benarkah kau mencintai ku? Mencintaiku karenaNya?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar